BANDUNG - Dewan Perwakilan Daerah (DPD) RI bekerja sama dengan Program Studi (Prodi) Magister Ilmu Hukum UIN Sunan Gunung Djati Bandung menggelar Focus Group Discussion (FGD) di Swissbel Hotel Dago Bandung, Jumat 5 Februari 2021.
FGD yang membahas Rancangan Undang-Undang (RUU) Badan Usaha Milik Desa (BUMDes) itu dibuka oleh Rektor UIN Sunan Gunung Djati Bandung, Prof. Dr. H. Mahmud, M.Si sangat mengapresiasi ikhtiar DPD dan Prodi S2 Ilmu Hukum dalam rangka melakukan pemberdayaan masyarakat melalui BUMDes.
Untuk saat ini mohon doanya dari semua pihak agar keberadaan Fakultas Kedokteran segera dibuka di UIN Sunan Gunung Djati Bandung.
Meskipun UIN Sunan Gunung Djati Bandung yang pertama memiliki Rumah moderasi beragama di lingkungan PTKIN, tetapi keberadaan belum dapat fasilitas dan harus ada payung hukum untuk melangkapi semua ini.
"Saya berharap ke depan DPD punya program bersama dengan UIN Sunan Gunung Djati Bandung sebagai tindaklanjut dari FGD. Hal ini dalam rangka ikut andil mencerdaskan kehidupan berbangsa, bernegara, bermasyarakat karena sebaik-baik manusia itu yang bermanfaat bagi diri sendiri dan orang lain. Mengingat nilai akreditasi A untuk lembaga dan ada 22 Akreditasi Prodi yang meraih A," jelasnya.
FGD ini dihairi puluhan peserta terdiri dari Akademisi Ilmu Ekonomi dan Hukum, Pemerintah Daerah Provinsi/Kabupaten/Kota, DPRD Provinsi/Kabupaten/Kota, Aparat Desa dan atau Perwakilan BUMDes, Mahasiswa S2 dan S3 Ilmu Ekonomi dan Hukum, serta Lembaga Penelitian terkait di Universitas.
Sementara forum bergengsi tersebut menghadirkan narasumber di antaranya: Tim Ahli RUU BUMDes dari DPD RI, Pakar/Ahli Ilmu ekonomi dan hukum dari UIN Sunan Gunung Djati Bandung serta Asosiasi Pemerintah Desa.
Wakil Ketua DPD RI, Dr H Mahyudin ST MM mengatakan, pihaknya sengaja menggandeng UIN Sunan Gunung Djati Bandung dalam pelaksanaan FGD tersebut. Tujuannya kata dia, agar RUU BUMDes yang diusulkan DPD RI mendapatkan legitimasi akademik dan dukungan dari stakeholders di daerah untuk segera dibahas dan disahkan menjadi undang-undang Tahun 2021.
Mahyudin menilai, bahwa pembahasan RUU BUMDes sangat penting serta perlu dilakukan percepatan untuk menjadi undang-undang di tahun 2021 ini. DPR RI, DPD RI dan Pemerintah dalam hal ini diwakili oleh Menteri Hukum dan HAM menyepakati dan menetapkan sebanyak 33 RUU menjadi Prolegnas Prioritas Tahun 2021. Dari jumlah tersebut, terdapat 20 RUU usulan DPR, 9 usulan Pemerintah, 2 usulan DPD, dan dua usulan bersama Pemerintah dan DPR.
Khusus untuk dua usulan DPD yaitu RUU tentang Daerah Kepulauan dan RUU tentang Badan Usaha Milik Desa (BUMDes).
“Dari daftar RUU di atas, masyarakat Indonesia bisa menilai bahwa lembaga eksekutif dan legislatif sudah bekerja dengan baik, dan benar-benar memperhatikan aspirasi rakyat dalam proses penyusunan program legislasi nasional” ujar Mahyudin.
“Hal ini terbukti dengan keseriusan DPR, DPD dan pemerintah dalam menyaring dan menyusun skala prioritas RUU yang akan dibahas dan disahkan pada Tahun 2021,” imbunya.
Uu menyebutkan, dari 38 RUU yang diusulkan, hanya 33 yang disetujui masuk Prolegnas prioritas .
Sejumlah RUU tersebut kata dia, dipandang kurang strategis atau berpotensi memicu polemik di tengah-tengah masyarakat, dikeluarkan dari daftar Prolegnas, untuk dibahas pada tahun-tahun sidang berikutnya.
“Contohnya adalah RUU tentang Jabatan Hakim, RUU tentang Bank Indonesia (BI), RUU tentang Ketahanan Keluarga, dan RUU Haluan Ideologi Pancasila (HIP),” ungkapnya.
Lebih jauh Mahyudin menjelaskan, karena semua RUU dalam daftar Prolegnas merupakan RUU yang sangat vital, strategis, dan urgent, tentu diperlukan kejelian, sensitivitas, dan penalaran yang jernih untuk menentukan RUU mana yang paling mendesak untuk segera dibahas dan disahkan.
“Pada poin inilah, DPD RI berpandangan bahwa RUU tentang BUMDes menjadi salah satu RUU yang paling mendesak untuk segera dibahas bersama lalu disahkan menjadi undang-undang,” terangnya.
“Hal tersebut tidak semata-mata karena RUU BUMDes merupakan RUU inisiatif DPD RI yang telah disahkan dalam Sidang Paripurna DPD RI yang tertuang keputusan DPD RI Nomor 16/DPD RI/II 2020-2021 tentang RUU BUMDes,” sebutnya lagi.
Dikatakan, ada tiga argumentasi yang melatari pandangan ini. Pertama, kondisi perekonomian bangsa saat ini sedang terpuruk akibat pandemi Covid-19.
“Banyak korporasi besar yang goyah sehingga terpaksa melakukan efisiensi dalam bentuk pengurangan karyawan. Akibatnya, angka PHK pada tahun ini jauh lebih tinggi dibanding tahun-tahun sebelumnya. KADIN mencatat bahwa sampai Oktober 2020, lebih dari 6,4 juta pekerja di PHK. Sementara Kementerian Keuangan merilis jumlah penganguran pada bulan November 2020 mencapai 9.7 juta jiwa,” ungkapnya.
Pemerintah memang sudah mengeluarkan beragam kebijakan dan stimulus untuk menyelamatkan perusahaan-perusahaan besar nasional, baik swasta maupun BUMN. Pada kuartal pertama tahun 2020 saja, Pemerintah harus menyuntikkan dana sebesar Rp 154 Trilyun untuk menjamin sejumlah BUMN tetap beroperasi dengan lancar. Ragam kebijakan dan stimulus ekonomi tersebut memang berhasil membuat sejumlah korporasi bisa survive di tengah lesunya perekonomian global, namun jika dilihat dari jumlah PHK dan angka penganguran yang terus meningkat, pemerintah perlu melakukan terobosan lain dalam upaya membangun perekonomian nasional.
“Salah satunya adalah memberdayakan BUMDes sebagai salah satu pilar ekonomi makro yang berbasis di pedesaan. BUMDes diharapkan dapat berperan dalam membangkitkan ekonomi masyarakat desa,” katanya.
Yang kedua, imbuh Mahyudin, secara faktual, BUMDes semakin lama semakin menunjukkan peran pentingnya sebagai pilar perekonomian rakyat. Fakta ini dibuktikan dengan jumlah BUMDes yang terus meningkat dari tahun ke tahun. Pada tahun 2014, Jumlah BUMDes hanya sebanyak 1.022 unit, sedangkan pada akhir tahun 2019 tercatat ada 41.691 unit BUMDes di seluruh Indnesia. Jika angka ini dikorelasikan dengan jumlah desa yang sebanyak 74.957, maka bisa ditarik kesimpulan bahwa lebih dari 60% desa di Indonesia sudah memiliki BUM Desa.
“Jumlah BUMDes tersebut sebenarnya linier dengan jumlah Dana Desa yang dikucurkan Pemerintah Pusat sepanjang 2015-2019 yang mencapai Rp 257 triliun. Namun persoalannya, sejak tahun 2014 sampai 2019, konstribusi Produk Domestik Bruto (PDB) masyarakat desa terhadap PDB Indonesia tidak pernah tidak pernah melebihi angka 13%. Ini artinya, ada mata rantai yang terputus (missing link) antara besaran dana desa yang berkorelasi dengan pesatnya pertumbuhan BUMDes, dengan out put yang dihasilkan. Pada titik inilah, perlu regulasi yang tagas dan jelas tentang tata kelola BUMDes agar bisa dioptimalkan untuk neningkatkan perekonomian masyarakat,” bebernya.
Terakhir, Mahyudin memaparkan, adanya kekosongan regulasi mengenai status hukum BUMDes sebagai badan usaha. Hal ini terjadi karena dalam UU Nomor 6 tahun 2014 tentang Desa dan peratutan turunannya, yaitu Permendesa Nomor 4 tahun 2015 tentang Badan Usaha Milik Desa, Pemerintah tidak memberikan kepastian hukum terhadap bentuk BUMDes.
“Jangankan memberikan kejelasan bentuk BUMDes sebagai badan usaha berbadan hukum yang mengelola kekayaan desa yang dipisahkan sebagai bagian dari kekayaan negara, bahkan bentuk badan hukum BUMDes tidak dibedakan secara khusus dengan badan hukum lainnya seperti Koperasi, Perseroan Terbatas, atau Yayasan. Pemerintah hanya memperbolehkan unit-unit usaha BUM Desa saja yang berbadan hukum, tetapi untuk BUM Desa tetap dipertahankan berbentuk badan usaha saja,” katanya.
“Padahal peraturan dasar pengelolaan kekayaan negara yang dipisahkan sebagaimana terdapat dalam Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara memberikan pembatasan untuk setidaknya memerlukan pengelolanya berbadan hukum,” terangnya.
Sementara itu, Direktur Program Studi (Prodi) Magister Ilmu Hukum UIN Sunan Gunung Djati Bandung Dr H Uu Nurul Huda SAg SH MH menambahkan, dengan status badan usaha saja tanpa badan hukum, BUMDes tidak mempunyai legalitas untuk melakukan kerjasama dengan pihak manapun, termasuk kerjasama dalam rangka perluasan usahanya.
“Kondisi ini tentu saja kontra-produktif dengan semangat memajukan BUMDes. Persoalan lain yang bisa timbul adalah, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) tidak punya kewenangan untuk mengawasi BUM Desa yang menyelenggarakan kegiatan jasa keuangan, jika BUMDes tersebut tidak memiliki badan hukum,” imbuh Uu-sapaan akrabnya Uu Nurul Huda.
Selain itu katanya, terkait dengan telah ditetapkannya RUU BUMDes menjadi RUU Prolegnas Priortas Tahun 2021 tentu menimbulkan pertanyaan.
“Kenapa BUMDes harus diatur dengan undang-undang dan bukan cukup diatur dengan peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang? Secara singkat, disepakati dalam Rapat Tripartit yaitu antara Baleg DPR RI, PPUU DPD RI, dan Menteri Hukum dan HAM tanggal 14 Januari 2021 yang lalu, bahwa semua badan hukum diatur dengan undang-undang seperti BUMN, Koperasi, Yayasan, dan Perseroan Terbatas. Oleh karena itu, BUMDes perlu di atur dengan undang-undang tersendiri,” katanya.
Kehadiran UU BUMDes menurut Uu, dapat menjadi suatu lex specialis yang menghindarkan operasionalisasi BUMDes maupun unit-unit usahanya untuk mengalami overlapping atau disharmonisasi dengan peraturan perundang-undangan lainnya.
“Bukannya tidak mungkin, melalui RUU BUMDes tetap dapat mengarahkan pengembangan BUMDes melalui unit-unit usahanya yang berbadan hukum. Namun, mekanisme pembentukan unit-unit usaha berbadan hukum tersebut disederhanakan sehingga menghasilkan suatu model hybrid dari unit usaha berbadan hukum dan mengakomodir prinsip fundamental dari operasionalisasi BUMDes sebagaimana yang diamanatkan UU Desa,” sebutnya.
“Kemudian, kegelisahan terkait kekhawatiran disharmonisasi atau tumpang tindih antara UU BUMDes terhadap Undang-Undang Desa tidaklah serta merta akan terjadi. Pengaturan lebih lanjut suatu materi muatan Undang-Undang dalam suatu Undang-Undang lain. Bahkan dalam Undang-Undang yang bersifat lex specialis bukanlah suatu hal yang baru di Indonesia,” tambahnya.
Sebagai contoh, lanjut dia, Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang diperkuat dengan adanya Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir Dan Pulau-Pulau Kecil sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014. Terlebih amanat konstitusi pasal 33 UUD 1945.
“Menentukan bahwa pelaksanaan perekonomian sebagai usaha bersama berdasar atas asas kekeluargaan diatur lebih lanjut dalam Undang-Undang. Oleh karena itu, dapat diformulasikan suatu landasan yuridis terkait Undang-Undang Badan Usaha Milik Desa “bahwa untuk menyelenggarakan Badan Usaha Milik Desa sebagai kegiatan perekonomian berdasar atas asas kekeluargaan perlu diatur lebih lanjut dalam Undang-Undang,” pungkanya.
Berkenaan dengan hal-hal tersebut di atas, DPD RI sebagai lembaga perwakilan daerah yang memperjuangkan aspirasi daerah, melalui RUU BUMDes berharap agar nantinya BUMDes sebagai pondasi perekenomian bangsa dapat menjadi poros kekuatan ekonomi yang akuntabel dan kredibel. (rls)
Tidak ada komentar: